Kamis, 06 Februari 2014

Overdosis Olahraga? Awas Jantungan

Olahraga rasanya wajib untuk menjaga kesehatan. Tapi bila berlebihan, salah-salah malah menjadi ancaman. Kok bisa?
Rudi selalu pergi ke gym setiap hari. Selain berolahraga, pria 40 tahun itu juga ingin membentuk ototnya. Setiap hari, dia bisa menghabiskan waktu dua jam di pusat kebugaran. Namun suatu hari, Rudi mendadak pingsan di tempat fitness-nya. Dia sampai harus dilarikan ke rumah sakit terdekat. Dokter mendiagnosis Rudi terkena serangan jantung.

Overdosis Olahraga? Awas Jantungan

Keluarga Rudi heran. Selama ini, karyawan swasta di sebuah kantor di Jakarta itu sama sekali tak memiliki riwayat sakit jantung. Apalagi, Rudi mengadopsi gaya hidup sehat dengan makanan sehat dan olahraga. “Kok bisa dia kena serangan jantung?” ujar Vina, istri Rudi. Beruntung, nyawa Rudi bisa selamat karena penanganan yang tepat dan cepat.

Boleh jadi, Rudi memang mengonsumsi makanan sehat dan berolahraga. Namun ternyata, selama ini Rudi kerap ‘memaksa’ badannya melakukan kegiatan fisik. Padahal istirahatnya kurang.

Kesadaran orang untuk berolahraga memang meningkat saat ini. Terbukti dari menjamurnya pusat-pusat kebugaran di berbagai kota maupun daerah. Belum lagi berbagai kegiatan olahraga di tempattempat publik seperti Monas dan Senayan. Orang berbondong-bondong untuk berolahraga tak cuma di akhir pekan.

Namun banyak orang seakan tak peduli dengan kondisi tubuhnya. Mereka memaksa berolahraga berat meski badannya keletihan dan kurang tidur. Misalnya dengan berlari atau bersepeda berkilo-kilo meter.

Padahal baru-baru ini para ahli menyatakan olahraga yang termasuk latihan ketahanan seperti lari maraton bisa mengakibatkan kerusakan jantung. Termasuk ketidaknormalan ritme jantung.
Para ilmuwan di Amerika menyatakan, pola latihan intensif dan kompetisi olahraga ketahanan yang ekstrem dan dalam jangka waktu lama dapat membahayakan jantung.

Olahraga ketahanan itu antara lain maraton, triatlon, dan bersepeda jarak jauh. Hal itu bisa mengakibatkan perubahan struktur jantung dan pembuluh darah sehingga dapat merusak organ jantung. “Ini meningkatkan risiko sebesar lima kali lipat atas terjadinya gangguan jantung,” ujar Dr. James O’Keefe dari Saint Luke’s Hospital of Kansas City.

Tak bisa dimungkiri, olahraga memang akan memberikan manfaat kesehatan bagi tubuh. Namun bisa berbahaya jika dilakukan berlebihan atau terlalu lama. Apalagi jika dalam kondisi tubuh kurang istirahat. Jika dipaksakan, hal ini dapat mengakibatkan kematian mendadak. Seperti yang terjadi pada utusan Yunani pada 490 SM yang mendadak meninggal setelah berlari sejauh 281,6 km.

Ini dilaporkan sebagai serangan jantung pertama akibat berlari jarak jauh. Dr. O’Keefe menyebut kondisi ini sebagai Phidippides Cardiomyopathy atau kerusakan jantung yang kerap terjadi pada pelari maraton.

Penemuan ini tentu bukan ingin menakuti orang untuk berolahraga. Namun paling tidak, dengan adanya studi ini, orang-orang akan makin aware dengan cara berolahraga yang baik dan benar. Menurut Dr. O’Keefe, selama ini orang masih beranggapan bahwa olahraga yang baik adalah yang berat. Padahal, latihan ekstrem justru malah membahayakan tubuh. “Latihan ekstrem tidak benarbenar aman bagi jantung.

Durasi sekitar 30-60 menit sehari sudah cukup,” ujarnya. Hal senada juga diungkapkan Dr. med. Suhantoro, SpKO, FACSM (K). Menurutnya, olahraga bisa menimbulkan masalah jika dilakukan tidak sesuai dosis, jenis olahraga dan umur.

Selama ini, banyak orang terkesan tidak peduli soal dosis olahraga yang aman. “Sehingga banyak kasus orang yang meninggal setelah olahraga,” kata dokter yang sudah malang melintang menangani PSSI dan KONI.

Sampai usia 30 tahun, tubuh seseorang boleh jadi masih bisa melakukan kompen-sasi terhadap kegiatan olahraga yang berat. Namun jika telah melewati usia 30 tahun, orang sudah harus mengecek dosis untuk olahraganya. Saat berolahraga, detak jantung, tekanan darah sistolik (atas), dan cardiac output (jumlah darah yang  dipompa per denyut jantung) mengalami peningkatan.

Aliran darah ke jantung, otot dan kulit juga meningkat. Akibatnya, metabolisme tubuh menjadi lebih aktif memproduksi CO2 (karbon dioksida/oksida asam) dan H+ (ion proton) pada otot. Akhirnya orang akan bernapas lebih cepat dan dalam untuk memasok oksigen.

Olahraga berat itu membuat metabolisme tubuh tidak bisa lagi hanya mengandalkan pasokan oksigen tapi menggunakan proses biokimia. Proses biokimia ini menghasilkan asam laktat yang kemudian memasuki aliran darah.

Penumpukan asam laktat ini akan membuat tubuh merasa capai saat olahraga. Kadar oksigen juga menurun akibat penumpukan karbon dioksida dalam darah. “Jadi ada miliaran darah mati karena saat olahraga tubuh orang akan menjadi asam, Ph akan menjadi sekitar 6,7-6,8. Padahal tubuh itu harus dalam kondisi basa yaitu Ph 7,” ujar Dr. Suhantoro.

Ada ancaman kematian jika Ph tubuh mencapai Ph 6,3. Inilah yang menyebabkan terjadi kram otot dan kram jantung yang membuat banyak orang terkena serangan jantung setelah berolahraga. Tubuh perlu waktu sekitar 30 menit untuk menetralkan asam ini dengan cara istira-hat. “Kalau ngos-ngosan sebaiknya istirahat dulu, jangan dipaksakan berlari terus. Ini untuk recovery,” kata dokter gaek ini.

Dosis Aman Berolahraga Meski banyak kasus orang meninggal setelah atau saat berolahraga, tapi bukan berarti Anda harus berhenti melakukannya kan? Berikut tips aman berolahraga sesuai usia. Cara yang aman adalah mengukur denyut nadi maksimal (DNM). DNM adalah denyut nadi maksimal yang dihitung berdasarkan rumusan DNM = 220 - umur, kemudian dikalikan dengan intensitas membakar lemak 60-70 persen DNM. Jika Anda berusia 40 tahun maka DNM saat ia berolahraga adalah 220 - 40 = 180.

Kemudian angka 180 dikalikan dengan 60 persen untuk batas ringan dan 70 persen untuk batas atas yang hasilnya 108-126 per menit. Maka orang berusia 40 tahun harus berhenti sejenak ketika denyut nadinya sudah melampaui 126 per menit. Jika dipaksakan maka yang terjadi adalah kram jantung yang membuat serangan
jantung.

Untuk menghitung denyut jantung bisa dengan cara menghitung nadi di dekat tangan atau yang lebih praktis memakai jam yang ada detak jantungnya. Jika sudah merasa melampaui dosis saat lari dalam olahraga futsal misalnya, berikan saja bola-bola itu ke orang lain. Saat istirahat, minumlah air dengan suhu 15-16 derajat atau minuman manis dengan kadar gula 2,5-5 persen. “Minuman yang terlalu dingin akan sulit di-absorb tubuh karena suhu tubuh setelah olahraga sedang dalam kondisi panas,” jelas Dr. Suhantoro.